SMARPHONE BAGAIKAN BUAH DUREN ADA YANG SUKA ADA YANG ALERGI



Di tengah menulis artikel ini, saya berhenti untuk mengecek smartphone 

Sama seperti kamu, kita pasti sering teralihkan oleh smartphone. Terkadang, ada email pekerjaan yang masuk dan seolah menggoda untuk minta dilihat. Terkadang kalimat yang saya tulis buntu dan, dibandingkan berpikir untuk memilih kata apa yang akan dipakai, saya memutuskan untuk istirahat dan mengambil smartphone. Pengguna smartphone terus meningkat. Ada sekitar 2,6 miliar di tahun 2016, dan diperkirakan akan mencapai 2,9 miliar di tahun 2019. Padahal, seluruh manusia di bumi ada 7 miliar. Itu artinya, 1 dari 3 orang penduduk bumi menggunakan smartphone. 

Berdasarkan analisis data yang kami punya, 80% pembaca blog ini pun mengakses menggunakan smartphone. Itu artinya, kemungkinan besar kamu lagi pegang hape. Entah sambil tiduran atau berdiri menunggu sesuatu. Kalau kamu termasuk yang kedua, coba cari posisi lain. Soalnya, tanpa disadari, sudut yang dibentuk tulang belakang ketika menunduk menatap smartphone setara dengan satu gelas susu berdiri, lalu ada anak berumur 8 tahun yang duduk di bagian leher. 

Berdasarkan penelitian Amerika tahun 2015, orang berusia 18-29 tahun di sana menggunakan smartphone sebagai alat penghilang bosan. Dari riset tersebut, smartphone mereka gunakan untuk meningkatkan produktivitas dan mendapatkan "kebahagiaan". Saking sulitnya kita terlepas dari smartphone, sampai ada istilah nomophobia. Ngaku, deh, apa kamu salah satunya? Emang, sih, setiap bangun tidur, hal pertama yang kita lakukan adalah mengambil smartphone. Apalagi hampir semua hal saat ini punya aplikasi yang terhubung ke smartphone. Mau pergi? Pesan ojek online lewat smartphone. Lapar tapi mager? Tangan bergerak mengambil smartphone. Mau jalan-jalan tapi gak punya waktu? Buka Instagram, lihat foto-foto orang, lalu timbul kedengkian, mengecek dompet, dan menangis di lemari baju. Iya, udah banyak penelitian yang mengatakan kalau smartphone dan media sosial dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan kejiwaan, stres, gelisah, bahkan muncul pikiran untuk bunuh diri. Penyebabnya: kita membandingkan hidup dengan orang lain. Sadar nggak, sih, kebiasaan main smartphone sebelum tidur, justru ngebuat ritme tidur kita kacau? Dari yang semula tidur pukul 10 malam, gara-gara main smartphone jadi tidur pukul 10 lewat 2 menit. 

KAGAKLAH. 

Maksudnya, jadi sampai larut malam gitu. Sebagian dari kamu mungkin akan menjawab dengan, ‘Iyalah jadi gak bisa tidur! Soalnya, kan, bukannya istirahat malah Youtube-an!’ Kenyataannya, cahaya yang dipancarkan layar smartphone pada malam hari akan mengurangi produksi hormon melatonin. Hormon yang bertanggungjawab dalam menjaga pola tidur. Harvard Medical School bahkan menyarankan kita untuk menghentikan aktivitas yang berbau teknologi 2-3 jam sebelum mau tidur. Oke, beberapa paragraf di atas mungkin udah cukup membuka pikiran kamu tentang seberapa terikatnya kita dengan smartphone. Dari mulai bangun tidur, sampai mau tidur lagi. 

Tapi, apa, sih, yang sebenarnya menyebabkan hal itu? Kenapa kita bisa sebegitu ketagihan dengan benda kotak kecil seukuran kantung celana jeans itu? Jawabannya: uang. Mungkin ini agak terdengar jahat, tapi saat ini, fungsi smartphone memang sudah bergeser. Smartphone bukan lagi benda yang didesain untuk sekadar membantu hidup kita. Melainkan untuk menarik perhatian kita. Semakin sering perhatian kamu terambil oleh smartphone, semakin besar kemungkinan perusahaan teknologi mendapatkan uang dari kamu. Entah untuk membeli produk, iklan yang kamu klik, atau sebagai pengunjung ke laman website yang dikonversi menjadi iklan. Oleh karena itu, mereka berusaha mati-matian untuk merekatkan tangan dan pandangan kamu ke smartphone. Tapi tenang. Pada artikel ini, saya akan coba membedahnya satu per satu. Hal-hal apa aja yang membuat kita ketagihan terhadap smartphone. Paling tidak, dengan mengetahui hal ini, kita jadi bisa menjaga diri dari ketagihan yang tidak perlu. Hal pertama yang menyebabkan kita ketagihan smartphone adalah dopamin. Hormon yang memantik rasa bahagia di dalam diri kita. Ketika kita membuka berbagai aplikasi. Instagram, misalnya. Jumlah “love” yang kamu dapat, komen yang diterima, bertambahnya followers, atau banyaknya like di Facebook, atau view dan subscriber di YouTube, akan meningkatkan produksi hormon ini. Semua hal itu, akan membuat kamu “bahagia”. Dan ketika kamu sudah terpaku dengan hal ini, maka kamu akan membuka, dan membuka, dan membuka smartphone berulang kali. Semata-mata hanya untuk melihat “Udah berapa nih sekarang love di foto gue…” 

Pas dicek, eh cuma 7 likes. 4 dari keluarga, 1 pacar, 1 akun sendiri, 1 second account. Masalahnya, ketika sudah terlalu banyak dan merasa “nagih” terhadap ini, dopamin justru akan mati, dan efekya membuat kita depresi, gelisah, dan tidak percaya diri. Disadari atau tidak, notifikasi lah yang membuat kamu refleks memindahkan pandangan dari satu tempat menuju ke smartphone. Dengan notifikasi, berbagai aplikasi memancing kamu untuk memegang smartphone dan membuka aplikasinya. Padahal, tujuan awal dibuatnya fitur notifikasi supaya kamu tidak berlama-lama mengecek smartphone. Tahun 2003, Blackberry punya ide “Daripada pengguna hape gue ngecekin e-mail terus-terusan buat liat ada e-mail baru apa enggak, mending gue buat aja fitur yang ngasih tahu setiap ada e-mail baru.” Bandingkan dengan notifikasi yang ada sekarang. 

Sekarang, kamu akan mendapat notifikasi dari aplikasi apapun. Bahkan aplikasi komunikasi, memunculkan notifikasi yang tidak berhubungan dengan “komunikasi langsung”. Instagram bisa aja memberikan notifikasi “Teman kamu akhirnya membuat story pertama kali” atau Twitter dengan notifikasi “Akun [sebut nama akun di sini] menyukai tweet akun [sebut nama akun di sini]” Notifikasi-notifikasi semacam ini menandakan kalau media sosial jadi semacam “penguras perhatian” aja. Bukan benaran berfungsi untuk mempererat komunikasi. Teman kamu—yang tidak berniat berkomunikasi sama kamu—hanya dijadikan "boneka" oleh Instagram, supaya kamu bisa kembali membuka aplikasi itu. Hal lain yang perlu diperhatikan dari notifkasi ini adalah emosi. Dengan begitu banyaknya aplikasi yang ada di smartphone, semuanya berlomba-lomba memunculkan emosi lewat notifikasi. Entah itu perasaan senang, sedih, cemas, atau terkejut. Tristan Harris, seorang desainer etika di Google bilang kalau hal ini memang udah setting-an yang direncanakan. Kita, tidak akan tertarik dengan smartphone, kalau kita udah tahu “perasaan apa yang akan kita dapat” ketika membuka smartphone itu. Penjelasan ini sama seperti penggunaan slot machine di Amerika Serikat. Ketika bermain slot machine, kita akan ketagihan dan main lebih dari satu kali. Soalnya, kita tidak tahu apa yang akan muncul ketika slot-nya kita tarik. Apakah kamu akan mendapat jackpot, atau malah sial. Beberapa aplikasi kayak Twitter dan Instagram bahkan mencontek mentah-mentah konsep dari slot machine ini. Pada kedua aplikasi itu, ada fitur “Tarik untuk refresh Timeline” yang ngebuat kamu seakan diberi kuasa untuk memperbarui dunia Twitter dan Instagram kamu. Akhirnya, kamu sering swipe smartphone hanya untuk sekadar mengecek apakah ada hal yang baru atau tidak. 

Ketika muncul sesuatu yang baru setelah melakukan swipe, hormon dopamin akan diproduksi. Kamu merasa bahagia. Dan ini menjadi lingkaran yang berputar terus. Psikolog Rusia, Ivan Pavlov, pernah membuat teori tentang hal ini. Dia menyebutnya dengan istilah “Anjing Pavlov”. Setiap sore, Pavlov selalu membunyikan bel, membuat tanda waktu makan si anjing sudah tiba. Lama kelamaan, bunyi bel tersebut membuat si anjing senang dan excited. Padahal, belum tentu ada makanan baru. Salah satu hal paling gampang untuk menarik penglihatan kita adalah dengan warna. Itu lah kenapa perhatian kita lebih mudah teralihkan dengan TV yang menyala tanpa suara, dibandingkan radio/musik. Mata kita memang diciptakan untuk sensitif terhadap warna-warna hangat. Makanya, banyak aplikasi yang mengubah icon-nya menjadi lebih terang, tegas, dan punya warna hangat. Ya, tujuan mereka mengubah logo dan icon bukan semata karena perubahan tren, tapi untuk memengaruhi kita. Supaya lebih menyala dibanding aplikasi lain di smartphone kita. Ini juga alasan mengapa notifikasi dibuat berwarna merah dan bukannya biru atau hijau. Itu lah alasan kita merasa “gatal” mencet aplikasi yang ada notifikasinya dibanding yang nggak ada. Jadi, cara paling mudah untuk menghindari ini adalah dengan mengubah pengaturan smartphone kita menjadi hitam putih. Ketika kita melihat dua aplikasi yang sama-sama hitam putih. Kita tidak akan bisa membedakan aplikasi mana yang lebih penting dibanding yang lain, meskipun aplikasi yang satunya ada notifikasi. Cara lain untuk menanggulangi ketagihan smartphone adalah sadar adanya infinite scroll dan bottomless vortex. Nggak, kata-kata ini nggak seribet kedengerannya kok. 

Keduanya adalah fitur yang biasa diterapkan untuk mengubah fungsi berpindah halaman menjadi scroll yang tidak terbatas. Coba deh kamu scroll blog ini sampai bawah, kamu pasti sadar akan adanya tombol "view more”. Dengan melihat tombol itu, kamu akan diberi waktu untuk "beristirahat". Bahwa lama di blog ini ada "mentok"-nya, sebelum akhirnya kamu menekan kembali tombol itu. Seperti halnya di mesin pencarian google yang menggunakan konsep halaman. Ketika mencari suatu keyword, kamu akan malas menekan satu per satu halaman sampai ke halaman 4, misalnya. Dengan konsep halaman ini, secara psikologis kamu diberi tanda, "Oh, ini ujungnya nih." sampai akhirnya kamu harus menekan tombol halaman kedua, dan ketiga, dan seterusnya. 

Beda halnya dengan bottomless vortex. Fitur ini sering diterapkan di berbagai aplikasi media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube. Ketika scroll layar smartphone, kamu seakan tidak punya batas sampai sejauh mana kamu bisa mengecek Timeline media sosial tersebut. Makanya, kamu seolah tidak pernah capek untuk scroll. Dan hasilnya, aplikasi tadi untung karena kamu bertahan lama di dalamnya. Karena dengan fitur ini, yang punya kuasa untuk menghentikan scroll jari kamu adalah diri kamu sendiri, beda dengan fitur halaman di blog ini atau google. Fitur “auto play” video juga seperti itu. Dia memberikan ilusi bahwa konten yang kamu tonton tidak pernah habis, sehingga kamu “dipaksa” mengonsumsinya lagi, dan lagi. Ini memang kelhiatan sepele dan mungkin sebagian dari diri kamu mikir: “Masa sih? Lebay kali ah!” Kenyataannya, pada 2005, dibuat penelitian mengenai konsep ini. Penelitiannya menggunakan kelompok orang yang harus makan sup dengan dua tipe: 1) mangkuknya bisa mengisi sup sendiri, dan 2) mangkuk otomatis yang terisi sendiri. Hasil penelitiannya, orang-orang yang makan sup dari mangkuk otomatis, bisa menghabiskan 73% porsi lebih banyak. Padahal sup dan rasanya sama. Makanya, untuk menanggulangi bottomless vortex, kamu harus pintar-pintar memilih aplikasi yang ada di homescreen smartphone. Sebisa mungkin gunakan aplikasi yang benaran kepakai di dunia nyata. Jauhkan sedikit aplikasi yang menggunakan fitur-fitur tadi. Kalau bisa, gabungkan ke dalam satu folder, lalu berikan password untuk membuka foldernya. Gimana hasil pembedahan soal ketagihan smartphone ini. Ternyata, memang ada “akal-akalan” di balik semua ini. Dan, ya, mau tidak mau kita akan menerimanya. Kita hanya bisa sadar dan sebisa mungkin menghindari penyebabnya. Kalau kamu ingin tahu materi seru yang ada di pelajaran sekolah kamu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer